Pembukuan memiliki peranan yang sangat penting dalam sistem self
assesment dalam rangka menghitung sendiri pajak yang terutang. Tidak heran, UU
KUP mengatur di Pasal 28 tentang prinsip-prinsip pembukuan yang harus
diselenggarakan oleh Wajib Pajak dengan beberapa prinsip pembukuan. Pembukuan
secara terperinci diatur dalam SAK namun secara garis besar juga mengatur
beberapa hal tentang pembukuan agar dapat dihitung besar pajak terutang. Jadi
pembukuan harus diselenggarakan berdasarkan sistem yang ada di Indonesia seperti
yang tertuang dalam SAK, tapi untuk kepentingan perpajakan, pembukuan tersebut
harus disesuaikan dengan peraturan perpajakan yang biasa disebut dengan koreksi
fiskal. Berikut peraturan – peraturan mengenai prinsip pembukuan yang diatur
dalam UU KUP pasal 28 dibandingkan dengan yang tertuang dalam PSAK .
1.
Itikad Baik
UU KUP pasal 28 ayat 3 : “Pembukuan dan juga pencatatan tersebut diselenggarakan dengan memperhatikan itikad
baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.”
Prinsip
ini relevan dengan apa yang diatur dalam IFRS maupun PSAK ( PSAK no.1 paragraf
16-21 yang mengatur tentang karakteritik umum penyajian laporan keuangan yaitu “Penyajian secara wajar dan kepatuhan
terhadap PSAK”).
2.
Penggunaan Huruf, Angka, Mata Uang dan Bahasa
UU KUP pasal 28 ayat 4 : “Pembukuan
atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf
Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia
atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.”
Di IFRS maupun PSAK belum dimuat.
Contoh
:
PT
ABC memiliki banyak rekan bisnis dan shareholder di luar negeri,
sehingga sejak berdirinya, PT ABC menggunakan bahasa Inggris dan mata uang
dollar dalam pembukuannya. Maka menurut PSAK hal tersebut tidak disalahkan/diperbolehkan.
3.
Taat Asas Dengan Stelsel Akrual Atau Stelsel Kas
UU KUP pasal 28 ayat 5 : “Pembukuan
diselenggarakan dengan prinsip taat asa dan dengan stelsel akrual atau stelsel
kas”
Prinsip
taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan
tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Prinsip taat
asas dalam metode pembukuan misalnya dalam penerapan stelsel pengakuan
penghasilan, penggunaan tahun buku, penggunaan metode penilaian persediaan dan
penggunaan metode penyusutan dan amortisasi.
Stelsel
akrual : pengakuan penghasilan saat diperoleh dan pengakuan biaya pada saat
terutang.
Stelsel
kas : pengakuan penghasilan saat kas diterima dan pengakuan biaya saat kas
dibayar secara tunai.
PSAK no. 1 paragraf 25-26 : “Entitas
menyusun laporan keuangan atas dasar akrual, kecuali laporan arus kas. Ketika
akuntansi berbasis akrual digunakan, entitas mengakui pos-pos sebagai aset,
laibilitas, ekuitas, pendapatan dan beban (unsur-unsur laporan keuangan) ketika
pos-pos tersebut memenuhi definisi dan kriteria pengakuan untuk unsur-unsur tersebut
dalam Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan.”
Dalam
hal ini ada perbedaan yaitu tidak diberlakukannya lagi stelsel kas pada
penyajian laporan keuangan berdasarkan SAK.
Contoh
:
Sebuah
perusahaan jasa menggunakan dasar akrual dalam pelaporan keuangan usahanya (
sesuai PSAK) maka dalam perhitungan pajak/penggunaan laporan keuangan tersebut
dalam kewajiban perpajakan perusahaan tersebut tidak perlu mengubahnya ke dasar
kas karena dalam UU KUP disebutkan bahwa wajib pajak diberi pilihan (dan
konsisten).
4.
Waktu
dan Tempat Penyimpanan Dokumen
UU KUP pasal 28 ayat 11 : “ Pembukuan
harus diselenggarakan di Indonesia. Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi
dasar pembukuan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan
yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line wajib
disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau
tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak
badan.
Dalam hal Wajib Pajak melakukan
transaksi dengan para pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib
Pajak, kewajiban menyimpan dokumen lain meliputi dokumen dan/atau informasi
tambahan untuk mendukung bahwa transaksi yang dilakukan dengan pihak yang
mempunyai hubungan istimewa telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman
usaha.
Ketentuan tersebut dimaksudkan agar
apabila Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan surat ketetapan pajak, bahan
pembukuan atau pencatatan yang diperlukan masih tetap ada dan dapat segera
disediakan. Kurun waktu 10 (sepuluh) tahun penyimpanan buku, catatan, dan
dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan adalah sesuai dengan
ketentuan yang mengatur mengenai batas daluwarsa penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan.
Penyimpanan buku, catatan, dan
dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk
yang diselenggarakan secara program aplikasi on-line harus dilakukan dengan
memperhatikan faktor keamanan, kelayakan, dan kewajaran penyimpanan.
PSAK no.1 paragraf 36 : “Informasi kuantitatif diungkapkan secara komparatif dengan periode
sebelumnya untuk seluruh jumlah yang dilaporkan dalam laporan keuangan periode berjalan,
kecuali dinyatakan lain oleh SAK. Informasi komparatif yang bersifat naratif
dan deskriptif dari laporan keuangan periode sebelumnya diungkapkan kembali
jika relevan untuk pemahaman laporan keuangan periode berjalan.
Dilihat dari bunyi peraturannya,
dalam perpajakan pembukuan harus disimpan entitas minimal selama 10 tahun
sedangkan secara komersil minimal adalah 1 tahun, untuk dapat dibandingkan
dengan pembukuan tahun-tahun berikutnya.
Contoh :
Ketika dilakukan pemeriksaan, Pak
Bondan seorang pemeriksa pajak meminta arsip pembukuan selama 10 tahun terakhir
suatu entitas sebagai sumber bukti, jika ternyata hanya ada pembukuan selama 8
tahun terakhir maka akan dicatat sebagai pelanggaran di bidang perpajakan. Tapi
ketika pembukuan itu digunakan dalam rangka pengumpulan investasi, hal tersebut
tidak melanggar PSAK asalkan minimal pembukuan 2 tahun terakhir ada.
5.
Informasi
Minimal Dalam Pembukuan
UU KUP pasal 28 ayat 7 : “ Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta,
kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga
dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
Pengaturan ini dimaksudkan agar
berdasarkan pembukuan tersebut dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.”
Selain dapat dihitung besarnya Pajak
Penghasilan, pajak lainnya juga harus dapat dihitung dari pembukuan tersebut.
Agar Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dapat
dihitung dengan benar, pembukuan harus mencatat juga jumlah harga perolehan
atau nilai impor, jumlah harga jual atau nilai ekspor, jumlah harga jual dari
barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, jumlah pembayaran atas
pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam
daerah pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di
dalam daerah pabean, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan yang tidak
dapat dikreditkan.
Dengan demikian, pembukuan harus
diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia,
misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan
perundang-undangan perpajakan menentukan lain.
PSAK no. 1 paragraf 08 : ” Laporan
keuangan yang lengkap terdiri dari komponen-komponen berikut ini:
a.
laporan
posisi keuangan pada akhir periode;
b.
laporan
laba rugi komprehensif selama periode
c.
laporan
perubahan ekuitas selama periode;
d.
laporan
arus kas selama periode;
e.
catatan
atas laporan keuangan, berisi ringkasan
f.
kebijakan
akuntansi penting dan informasi penjelasan lainnya; dan
g.
laporan
posisi keuangan pada awal periode komparatif yang disajikan ketika entitas
menerapkan suatu kebijakan akuntansi secara retrospektif atau membuat penyajian
kembali pos-pos laporan keuangan, atau ketika entitas mereklasifikasi pos-pos
dalam laporan keuangannya. Entitas diperkenankan menggunakan judul laporan
selain yang digunakan dalam Pernyataan ini.
Jika kita bandingkan peraturan-peraturan di atas. Perbedaannya
adalah laporan penjualan dan pembelian (dalam UU KUP) belum tersaji/termuat di
laporan keuangan yang sesuai dengan IFRS atau PSAK.
Contoh :
Untuk mempermudah perhitungan PPN dan PPn BM, maka atas pembelian
barang persediaan impor oleh sebuah perusahaan, dibuat laporan yang merinci
pembelian yang mencatat misalnya nilai perolehan atau nilai impor dll dimana
laporan tersebut ada tersendiri pada penjualan dan pembelian. Sedangkan dalam
pembukuan komersial, atas perolehan persediaan tersebut akan masuk pada aktiva
lancar sebesar harga perolehan.
Perbandingan dengan SAK ETAP
Pada dasarnya, penyajian laporan keuangan dalam SAK ETAP sama
dengan penyajian laporan keuangan jika mengacu pada pasal 28 UU KUP mengenai
pembukuan. Contohnya, dalam pasal 28 ayat (5) dan (6) terdapat prinsip taat
asas, yang dalam SAK ETAP disebut sebagai penyajian yang konsisten. Yang
dimaksud dengan prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam
metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba
atau rugi.
Dalam pasal 28
ayat (3) UU KUP disebutkan bahwa pembukuan harus diselenggarakan dengan
memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang
sebenarnya. Sedangkan dalam SAK ETAP Bab 2.5 disebutkan mengenai keandalan,
yaitu penyajian laporan keuangan secara jujur apa yang seharusnya disajikan
atau yang secara wajar diharapkan dapat disajikan.
Di samping itu,
laporan keuangan baik diatur dalam SAK ETAP maupun pasal 28 UU KUP terdiri atas
neraca yang memuat aktiva, hutang, dan dan modal serta laporan laba rugi.
Namun, dalam SAK ETAP, laporan keuangan juga memuat laporan perubahan equitas
daln laporan laba rugi dan saldo laba, laporan arus kas, serta catatan atas
laporan keuangan.
Perbedaan terlihat
pada dasar pengakuan yang digunakan. Pada pasal 28 UU KUP digunakan stelsel
akrual atau perpaduan antara stelsel kas dan akrual (stelsel campuran),
sedangkan dalam SAK ETAP harus menggunakan stelsel akrual, kecuali untuk
laporan arus kas.
Perbedaan yang
lain terlihat dalam penggunaan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang
Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang
diizinkan oleh Menteri Keuangan , dimana dalam SAK ETAP tidak diatur mengenai
hal tersebut.