Senin, 25 Februari 2013

Prinsip Pembukuan Berdasarkan Akuntansi dan Perpajakan



Pembukuan memiliki peranan yang sangat penting dalam sistem self assesment dalam rangka menghitung sendiri pajak yang terutang. Tidak heran, UU KUP mengatur di Pasal 28 tentang prinsip-prinsip pembukuan yang harus diselenggarakan oleh Wajib Pajak dengan beberapa prinsip pembukuan. Pembukuan secara terperinci diatur dalam SAK namun secara garis besar juga mengatur beberapa hal tentang pembukuan agar dapat dihitung besar pajak terutang. Jadi pembukuan harus diselenggarakan berdasarkan sistem yang ada di Indonesia seperti yang tertuang dalam SAK, tapi untuk kepentingan perpajakan, pembukuan tersebut harus disesuaikan dengan peraturan perpajakan yang biasa disebut dengan koreksi fiskal. Berikut peraturan – peraturan mengenai prinsip pembukuan yang diatur dalam UU KUP pasal 28 dibandingkan dengan yang tertuang dalam PSAK .
1.        Itikad Baik
UU KUP pasal 28 ayat 3 : “Pembukuan  dan juga pencatatan tersebut  diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.”
Prinsip ini relevan dengan apa yang diatur dalam IFRS maupun PSAK ( PSAK no.1 paragraf 16-21 yang mengatur tentang karakteritik umum penyajian laporan keuangan  yaitu “Penyajian secara wajar dan kepatuhan terhadap PSAK”).
2.        Penggunaan Huruf, Angka, Mata Uang dan Bahasa
UU KUP pasal 28 ayat 4 : “Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.”
Di IFRS maupun PSAK belum dimuat.
Contoh :
PT ABC memiliki banyak rekan bisnis dan shareholder di luar negeri, sehingga sejak berdirinya, PT ABC menggunakan bahasa Inggris dan mata uang dollar dalam pembukuannya. Maka menurut PSAK hal tersebut tidak disalahkan/diperbolehkan.
3.        Taat Asas Dengan Stelsel Akrual Atau Stelsel Kas
UU KUP pasal 28 ayat 5 : “Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asa dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas”
Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Prinsip taat asas dalam metode pembukuan misalnya dalam penerapan stelsel pengakuan penghasilan, penggunaan tahun buku, penggunaan metode penilaian persediaan dan penggunaan metode penyusutan dan amortisasi.
Stelsel akrual : pengakuan penghasilan saat diperoleh dan pengakuan biaya pada saat terutang.
Stelsel kas : pengakuan penghasilan saat kas diterima dan pengakuan biaya saat kas dibayar secara tunai.
PSAK no. 1 paragraf 25-26 : “Entitas menyusun laporan keuangan atas dasar akrual, kecuali laporan arus kas. Ketika akuntansi berbasis akrual digunakan, entitas mengakui pos-pos sebagai aset, laibilitas, ekuitas, pendapatan dan beban (unsur-unsur laporan keuangan) ketika pos-pos tersebut memenuhi definisi dan kriteria pengakuan untuk unsur-unsur tersebut dalam Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan.”
Dalam hal ini ada perbedaan yaitu tidak diberlakukannya lagi stelsel kas pada penyajian laporan keuangan berdasarkan SAK.
Contoh :
Sebuah perusahaan jasa menggunakan dasar akrual dalam pelaporan keuangan usahanya ( sesuai PSAK) maka dalam perhitungan pajak/penggunaan laporan keuangan tersebut dalam kewajiban perpajakan perusahaan tersebut tidak perlu mengubahnya ke dasar kas karena dalam UU KUP disebutkan bahwa wajib pajak diberi pilihan (dan konsisten).
4.        Waktu dan Tempat Penyimpanan Dokumen
UU KUP pasal 28 ayat 11 : “ Pembukuan harus diselenggarakan di Indonesia. Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan.
Dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan para pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak, kewajiban menyimpan dokumen lain meliputi dokumen dan/atau informasi tambahan untuk mendukung bahwa transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.
Ketentuan tersebut dimaksudkan agar apabila Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan surat ketetapan pajak, bahan pembukuan atau pencatatan yang diperlukan masih tetap ada dan dapat segera disediakan. Kurun waktu 10 (sepuluh) tahun penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan adalah sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai batas daluwarsa penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
Penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk yang diselenggarakan secara program aplikasi on-line harus dilakukan dengan memperhatikan faktor keamanan, kelayakan, dan kewajaran penyimpanan.
PSAK no.1 paragraf 36 : “Informasi kuantitatif diungkapkan secara komparatif dengan periode sebelumnya untuk seluruh jumlah yang dilaporkan dalam laporan keuangan periode berjalan, kecuali dinyatakan lain oleh SAK. Informasi komparatif yang bersifat naratif dan deskriptif dari laporan keuangan periode sebelumnya diungkapkan kembali jika relevan untuk pemahaman laporan keuangan periode berjalan.
Dilihat dari bunyi peraturannya, dalam perpajakan pembukuan harus disimpan entitas minimal selama 10 tahun sedangkan secara komersil minimal adalah 1 tahun, untuk dapat dibandingkan dengan pembukuan tahun-tahun berikutnya.
Contoh :
Ketika dilakukan pemeriksaan, Pak Bondan seorang pemeriksa pajak meminta arsip pembukuan selama 10 tahun terakhir suatu entitas sebagai sumber bukti, jika ternyata hanya ada pembukuan selama 8 tahun terakhir maka akan dicatat sebagai pelanggaran di bidang perpajakan. Tapi ketika pembukuan itu digunakan dalam rangka pengumpulan investasi, hal tersebut tidak melanggar PSAK asalkan minimal pembukuan 2 tahun terakhir ada.
5.        Informasi Minimal Dalam Pembukuan
UU KUP pasal 28 ayat 7 : “ Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
Pengaturan ini dimaksudkan agar berdasarkan pembukuan tersebut dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.”
Selain dapat dihitung besarnya Pajak Penghasilan, pajak lainnya juga harus dapat dihitung dari pembukuan tersebut. Agar Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dapat dihitung dengan benar, pembukuan harus mencatat juga jumlah harga perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau nilai ekspor, jumlah harga jual dari barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, jumlah pembayaran atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan.
Dengan demikian, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain.
PSAK no. 1 paragraf 08 : ” Laporan keuangan yang lengkap terdiri dari komponen-komponen berikut ini:
a.       laporan posisi keuangan pada akhir periode;
b.      laporan laba rugi komprehensif selama periode
c.       laporan perubahan ekuitas selama periode;
d.      laporan arus kas selama periode;
e.       catatan atas laporan keuangan, berisi ringkasan
f.       kebijakan akuntansi penting dan informasi penjelasan lainnya; dan
g.      laporan posisi keuangan pada awal periode komparatif yang disajikan ketika entitas menerapkan suatu kebijakan akuntansi secara retrospektif atau membuat penyajian kembali pos-pos laporan keuangan, atau ketika entitas mereklasifikasi pos-pos dalam laporan keuangannya. Entitas diperkenankan menggunakan judul laporan selain yang digunakan dalam Pernyataan ini.
Jika kita bandingkan peraturan-peraturan di atas. Perbedaannya adalah laporan penjualan dan pembelian (dalam UU KUP) belum tersaji/termuat di laporan keuangan yang sesuai dengan IFRS atau PSAK.
Contoh :
Untuk mempermudah perhitungan PPN dan PPn BM, maka atas pembelian barang persediaan impor oleh sebuah perusahaan, dibuat laporan yang merinci pembelian yang mencatat misalnya nilai perolehan atau nilai impor dll dimana laporan tersebut ada tersendiri pada penjualan dan pembelian. Sedangkan dalam pembukuan komersial, atas perolehan persediaan tersebut akan masuk pada aktiva lancar sebesar harga perolehan.  

Perbandingan dengan SAK ETAP
Pada dasarnya, penyajian laporan keuangan dalam SAK ETAP sama dengan penyajian laporan keuangan jika mengacu pada pasal 28 UU KUP mengenai pembukuan. Contohnya, dalam pasal 28 ayat (5) dan (6) terdapat prinsip taat asas, yang dalam SAK ETAP disebut sebagai penyajian yang konsisten. Yang dimaksud dengan prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi.
            Dalam pasal 28 ayat (3) UU KUP disebutkan bahwa pembukuan harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya. Sedangkan dalam SAK ETAP Bab 2.5 disebutkan mengenai keandalan, yaitu penyajian laporan keuangan secara jujur apa yang seharusnya disajikan atau yang secara wajar diharapkan dapat disajikan.
            Di samping itu, laporan keuangan baik diatur dalam SAK ETAP maupun pasal 28 UU KUP terdiri atas neraca yang memuat aktiva, hutang, dan dan modal serta laporan laba rugi. Namun, dalam SAK ETAP, laporan keuangan juga memuat laporan perubahan equitas daln laporan laba rugi dan saldo laba, laporan arus kas, serta catatan atas laporan keuangan.
            Perbedaan terlihat pada dasar pengakuan yang digunakan. Pada pasal 28 UU KUP digunakan stelsel akrual atau perpaduan antara stelsel kas dan akrual (stelsel campuran), sedangkan dalam SAK ETAP harus menggunakan stelsel akrual, kecuali untuk laporan arus kas.
            Perbedaan yang lain terlihat dalam penggunaan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan , dimana dalam SAK ETAP tidak diatur mengenai hal tersebut.

4 komentar: