A.
Dasar Hukum
1.
Pasal 17, 17 B, 17C, 17D, 17E, 11 UU KUP
2.
Undang-undang PPN Nomor 42 Tahun 2009
3.
Peraturan
Dirjen Pajak Nomor PER-122/PJ./2006
jo. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-49/PJ./2008
4.
Peraturan
Menteri Keuangan Nomor: 72/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan
PPN/PPnBM
5.
PMK
74/PMK.03/2012 tentang Tata Cara
Penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu Dalam Rangka Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak
6.
PMK
71/PMK.03/2010 tentang Pengusaha Kena Pajak
Beresiko Rendah yang Diberikan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak
7.
PMK 193/PMK.03/2007 jo. PMK 54/PMK.03/2009
B.
Sebab-sebab Terjadi Kelebihan Pembayaran Pajak
Kelebihan pembayaran
PPN dapat terjadi karena:
1. Jumlah pajak masukan yang dibayar lebih
besar daripada jumlah pajak keluaran yang dipungut dalam suatu masa pajak.
Metode pengenaan PPN di
Indonesia adalah indirect substraction
method. Dalam metode ini, PPN yang terutang dihitung dengan mengurangkan
pajak masukan terhadap pajak keluaran. Pajak masukan adalah jumlah pajak yang
dibayar atau seharusnya sudah dibayar oleh PKP dalam rangka perolehan BKP dan
atau JKP sedangkan pajak keluaran adalah jumlah pajak yang dipungut oleh PKP
terhadap pembeli BKP dan atau penerima JKP.
Apabila dalam suatu
Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, berarti terjadi
kurang bayar, maka selisihnya merupakan PPN yang harus disetor oleh Pengusaha
Kena Pajak.
Sebaliknya, apabila
dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar
daripada Pajak Keluaran, berarti terjadi lebih bayar, maka selisihnya merupakan
kelebihan pajak. Kelebihan pemabayaran pajak inilah yang nantinya dapat
dimintakan permohonan pengembalian atau restitusi.
Jumlah pajak masukan
dapat lebih besar daripada pajak keluaran, antara lain, disebabkan oleh:
a. PKP melakukan pembelian/impor BKP atau
perolehan JKP pada masa investasi atau pada awal usaha dimulai.
Bagi pengusaha orang
pribadi, tidak tertutup kemungkinan melakukan pembelian BKP modal seperti
mesin, gedung, dan pembelian bahan baku atau bahan pembantu atau perolehan JKP
sebelum usaha dimulai. Bagi perusahaan yang berbentuk badan, kegiatan tersebut
dilakukan pada awal usaha dimulai. Apabila pada saat itu pengusaha itu telah
dikukuhkan sebagai PKP maka PPN yang dibayar merupakan pajak masukan yang dapat
dikreditkan sementara pajak keluaran belum dipungut karena belum melakukan
penyerahan BKP dan atau JKP. Andaikata sudah melakukan penyerahan kena pajak,
jumlahnya pun relatif masih kecil. Oleh karena itu, bagi PKP yang sudah
dikukuhkan sebelum atau pada saat usaha dimulai, jumlah pajak masukan selalu
lebih besar daripada jumlah pajak keluaran.
b. PKP melakukan kegiatan ekspor BKP/JKP.
Seperti diketahui bahwa
atas ekspor BKP/JKP
dikenakan PPN dengan tarif 0%. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa tidak ada
pajak keluaran yang dapat dikreditkan dengan pajak masukan sehubungan dengan
perolehan BKP dan JKP yang berhubungan langsung dengan kegiatan ekspor tersebut.
c. PKP menyerahkan BKP dan atau JKP kepada
pemungut PPN.
PKP yang melakukan
penyerahan BKP dan atau JKP kepada pemungut PPN akan mengalami kelebihan
pembayaran PPN sebab pada saat pembelian atau perolehan BKP dan atau JKP sudah
membayar PPN sebagai pajak masukan tetapi pajak keluaran yang seharusnya
diterima oleh PKP yang bersangkutan ternyata dipungut oleh Pemungut PPN.
d. PKP menyerahkan BKP dan atau JKP yang
memperoleh fasilitas “Pajak Yang Terutang Tidak Dipungut” atau lebih sering
disebut “PPN dan PPnBM Tidak Dipungut.”
Akibat BKP dan atau JKP
yang diserahkan oleh PKP memperoleh fasilitas “Pajak Yang Terutang Tidak
Dipungut”, PKP tersebut tidak memiliki pajak keluaran untuk dikreditkan dengan
pajak masukan yang telah dibayar oleh PKP yang bersangkutan pada saat perolehan
BKP dan atau JKP tersebut.
2. Selain jumlah pajak masukan yang lebih
besar daripada pajak keluaran, ada kemungkinan terjadi kesalahan pemungutan yang mengakibatkan pajak pertambahan nilai
atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
dipungut lebih besar dari yang seharusnya atau tidak seharusnya dipungut (pasal
13 ayat 1 PP no.1 tahun 2012).
Dalam kasus seperti ini, salah pungut hanya dapat
dimintakan kembali oleh pihak yang terpungut sepanjang belum dikreditkan, belum
dibebankan sebagai biaya, atau belum dikapitalisasikan dalam harga perolehan.
Pihak yang terpungut tersebut meliputi : importir ,pembeli barang, penerima
jasa, pihak yang memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean,
atau pihak yang memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.
C.
Pajak Masukan yang Dapat Diminta Kembali
Pajak masukan yang dapat diminta
kembali adalah Pajak Masukan untuk perolehan BKP atau JKP yang tercantum dalam
Faktur Pajak Standar yang tidak cacat dan yang berhubungan langsung dengan
kegiatan usaha, yaitu:
- penyerahan kena pajak bagi PKP yang sedang dalam masa investasi meskipun belum ada Pajak Keluaran yang dipungut;
- kegiatan penyerahan BKP atau JKP yang sepenuhnya dikenakan pajak;
- kegiatan ekspor barang;
- kegiatan penyerahan BKP atau JKP kepada pemungut PPN;
- kegiatan penyerahan BKP atau JKP yang memperoleh fasilitas pajak yang terutang (PPN dan PPnBM) tidak dipungut.
Faktur Pajak Cacat yaitu Faktur Pajak yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009. Faktur Pajak Standar dikatakan cacat apabila:
1. Diisi tidak lengkap. Misalnya, tidak
mencantumkan NPWP pembeli, bagian yang seharusnya dicoret ternyata tidak
dicoret. Tidak mengisi kolom PPnBM bagi PKP selain pabrikan yang menghasilkan
BKP yang tergolong mewah tidak berakibat Faktur Pajak Standar menjadi cacat.
2. Nama dan atu NPWP pembeli keliru.
3. Menggunakan cap tanda tangan.
4. Membetulkan kesalahan dalam penulisan
dengan cara dicoret atau dihapus misalnya dengan tippex atau ditempel dengan
kertas kemudian diketik atasnya.
5. Kode dan Nomor Seri ternyata ditulis
tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
6. Dibuat telah melampaui 3 (tiga) bulan
setelah batas waktu akhir pembuatan Faktur Pajak Standar.
7. Terlambat atu tidak melaporkan
penggunaan Kode dan Nomor Seri.
8. Tidak atau terlambat melaporkan nama dan
contoh tanda tangan pejabat yang ditunjuk untuk menandatangani Faktur Pajak
Standar.
D.
Tata Cara dan Jangka Waktu Restitusi Berdasarkan Peraturan
Dirjen Pajak Nomor PER-122/PJ./2006 jo. Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-49/PJ./2008
Mulai 16 Desember 2008, mekanisme penyelesaian
permohonan restitusi PPN dan atau PPnBM
yang diajukan oleh PKP atau diterima oleh KPP pada atau sesudah 16 Desember
2008 dilakukan berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-48/PJ./2008 tanggal 16 Desember 2008, sebagai berikut:
1. Permohonan restitusi dapat diajukan
kepada Kepala KPP pada setiap akhir Masa Pajak dengan cara mengisi kolom yang
tersedia pada formulir SPT Masa PPN atau dengan surat tersendiri dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Satu surat permohonan untuk satu Masa
Pajak
b. Kelengkapan surat permohonan restitusi:
1) Faktur pajak dan/atau dokumen tertentu
yang diperlakukan sebagai faktur pajak kecuali bagi PKP tertentu.
2) Kelengkapan dokumen dapat diajukan
bersamaan dengan surat permohonan atau disusulkan paling lambat satu bulan
sejak surat permohonan diterima oleh kepala KPP.
3) Dalam hal disusulkan, kepala KPP dapat
menerbitkan surat permintaan kelengkapan permohonan pengembalian kepada PKP
yang bersangkutan dengan memperhatikan jangka waktu melengkapi kelengkapan
permohonan tersebut.
4) Apabila sampai batas waktu yang
ditentukan tersebut ternyata PKP belum melengkapi surat permohonan, surat
permohonan restitusi diproses sebatas kelengkapan dokumen yang sudah diterima
di KPP.
Setelah melakukan
pemeriksaan, Direktur Jenderal Pajak (dalam hal ini kepala KPP) wajib
menerbitkan surat ketetapan pajak dalam jangka waktu 12 bulan sejak surat
permohonan diterima. Dalam hal jangka waktu ini telah terlampaui ternyata tidak
ada surat ketetapan pajak yang diterbitkan, berarti permohonan PKP dikabulkan,
maka dalam waktu 1 bulan setelah jangka waktu ini terlampaui, Direktur Jenderal
Pajak wajib menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB).
2. Dalam hal yang mengajukan permohonan
adalah PKP tertentu, maka berlaku mekanisme sebagai berikut:
a. PKP tertentu yang mengajukan permohonan
restitusi tidak diwajibkan melengkapi surat permohonannya dengan kelengkapan
surat permohonan pengembalian berupa faktur pajak dan dokumen yang diperlakukan
sebagai faktur pajak.
b. Setelah melakukan penelitian atas
permohonan restitusi yang diajukan oleh PKP tertentu, harus menerbitkan Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP), satu bulan sejak
surat permohonan diterima. Apabila setelah lewat jangka waktu dimaksud,
Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan SKPPKP, berarti permohonan PKP
tertentu ini dikabulkan, maka dalam jangka waktu 1 bulan sejak jangka waktu
terlampaui, wajib menerbitkan SKPPKP.
c. Dalam hal permohonan restitusi diajukan
oleh PKP tertentu meliputi masa pajak sebelum PKP menjadi PKP tertentu,
pemeriksaan wajib dilakukan terhadap SPT Masa PPN yang menyatakan kelebihan
pembayarannya dikompensasi, dan PKP tertentu ini wajib melengkapi faktur pajak
yang terkait.
d. Setelah menerbitkan SKPPKP, Direktur
Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan yang meliputi semua jenis pajak.
Apabila dari hasil pemeriksaan ini manghasilkan SKPKB, PKP tertentu wajib
membayar jumlah kekurangan pajak ditambah sanksi berupa kenaikan sebesar 100%
dari pajak yang kurang dibayar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar