Sabtu, 24 November 2012

Restitusi PPN



A.    Dasar Hukum
1.      Pasal 17, 17 B, 17C, 17D, 17E, 11 UU KUP
2.      Undang-undang PPN Nomor 42 Tahun 2009
3.      Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-122/PJ./2006 jo. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-49/PJ./2008
4.      Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 72/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan PPN/PPnBM
5.      PMK 74/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu Dalam Rangka Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak
6.      PMK 71/PMK.03/2010 tentang Pengusaha Kena Pajak Beresiko Rendah yang Diberikan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak
7.      PMK 193/PMK.03/2007 jo. PMK 54/PMK.03/2009

B.       Sebab-sebab Terjadi Kelebihan Pembayaran Pajak
Kelebihan pembayaran PPN dapat terjadi karena:
1.      Jumlah pajak masukan yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak keluaran yang dipungut dalam suatu masa pajak.
Metode pengenaan PPN di Indonesia adalah indirect substraction method. Dalam metode ini, PPN yang terutang dihitung dengan mengurangkan pajak masukan terhadap pajak keluaran. Pajak masukan adalah jumlah pajak yang dibayar atau seharusnya sudah dibayar oleh PKP dalam rangka perolehan BKP dan atau JKP sedangkan pajak keluaran adalah jumlah pajak yang dipungut oleh PKP terhadap pembeli BKP dan atau penerima JKP.
Text Box: PPN terutang = Pajak Keluaran – Pajak Masukan
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, berarti terjadi kurang bayar, maka selisihnya merupakan PPN yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak.
Sebaliknya, apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, berarti terjadi lebih bayar, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak. Kelebihan pemabayaran pajak inilah yang nantinya dapat dimintakan permohonan pengembalian atau restitusi.
Jumlah pajak masukan dapat lebih besar daripada pajak keluaran, antara lain, disebabkan oleh:
a.       PKP melakukan pembelian/impor BKP atau perolehan JKP pada masa investasi atau pada awal usaha dimulai.
Bagi pengusaha orang pribadi, tidak tertutup kemungkinan melakukan pembelian BKP modal seperti mesin, gedung, dan pembelian bahan baku atau bahan pembantu atau perolehan JKP sebelum usaha dimulai. Bagi perusahaan yang berbentuk badan, kegiatan tersebut dilakukan pada awal usaha dimulai. Apabila pada saat itu pengusaha itu telah dikukuhkan sebagai PKP maka PPN yang dibayar merupakan pajak masukan yang dapat dikreditkan sementara pajak keluaran belum dipungut karena belum melakukan penyerahan BKP dan atau JKP. Andaikata sudah melakukan penyerahan kena pajak, jumlahnya pun relatif masih kecil. Oleh karena itu, bagi PKP yang sudah dikukuhkan sebelum atau pada saat usaha dimulai, jumlah pajak masukan selalu lebih besar daripada jumlah pajak keluaran.
b.      PKP melakukan kegiatan ekspor BKP/JKP.
Seperti diketahui bahwa atas ekspor BKP/JKP dikenakan PPN dengan tarif 0%. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa tidak ada pajak keluaran yang dapat dikreditkan dengan pajak masukan sehubungan dengan perolehan BKP dan JKP yang berhubungan langsung dengan kegiatan ekspor tersebut.
c.       PKP menyerahkan BKP dan atau JKP kepada pemungut PPN.
PKP yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP kepada pemungut PPN akan mengalami kelebihan pembayaran PPN sebab pada saat pembelian atau perolehan BKP dan atau JKP sudah membayar PPN sebagai pajak masukan tetapi pajak keluaran yang seharusnya diterima oleh PKP yang bersangkutan ternyata dipungut oleh Pemungut PPN.
d.      PKP menyerahkan BKP dan atau JKP yang memperoleh fasilitas “Pajak Yang Terutang Tidak Dipungut” atau lebih sering disebut “PPN dan PPnBM Tidak Dipungut.”
Akibat BKP dan atau JKP yang diserahkan oleh PKP memperoleh fasilitas “Pajak Yang Terutang Tidak Dipungut”, PKP tersebut tidak memiliki pajak keluaran untuk dikreditkan dengan pajak masukan yang telah dibayar oleh PKP yang bersangkutan pada saat perolehan BKP dan atau JKP tersebut.
2.      Selain jumlah pajak masukan yang lebih besar daripada pajak keluaran, ada kemungkinan terjadi kesalahan pemungutan yang mengakibatkan pajak pertambahan nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut lebih besar dari yang seharusnya atau tidak seharusnya dipungut (pasal 13 ayat 1 PP no.1 tahun 2012).
Dalam kasus seperti ini, salah pungut hanya dapat dimintakan kembali oleh pihak yang terpungut sepanjang belum dikreditkan, belum dibebankan sebagai biaya, atau belum dikapitalisasikan dalam harga perolehan. Pihak yang terpungut tersebut meliputi : importir ,pembeli barang, penerima jasa, pihak yang memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, atau pihak yang memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.

C.    Pajak Masukan yang Dapat Diminta Kembali
Pajak masukan yang dapat diminta kembali adalah Pajak Masukan untuk perolehan BKP atau JKP yang tercantum dalam Faktur Pajak Standar yang tidak cacat dan yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha, yaitu:
  1. penyerahan kena pajak bagi PKP yang sedang dalam masa investasi meskipun belum ada Pajak Keluaran yang dipungut;
  2. kegiatan penyerahan BKP atau JKP yang sepenuhnya dikenakan pajak;
  3. kegiatan ekspor barang;
  4. kegiatan penyerahan BKP atau JKP kepada pemungut PPN;
  5. kegiatan penyerahan BKP atau JKP yang memperoleh fasilitas pajak yang terutang (PPN dan PPnBM) tidak dipungut.
Faktur Pajak Cacat yaitu Faktur Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009. Faktur Pajak Standar dikatakan cacat apabila:
1.      Diisi tidak lengkap. Misalnya, tidak mencantumkan NPWP pembeli, bagian yang seharusnya dicoret ternyata tidak dicoret. Tidak mengisi kolom PPnBM bagi PKP selain pabrikan yang menghasilkan BKP yang tergolong mewah tidak berakibat Faktur Pajak Standar menjadi cacat.
2.      Nama dan atu NPWP pembeli keliru.
3.      Menggunakan cap tanda tangan.
4.      Membetulkan kesalahan dalam penulisan dengan cara dicoret atau dihapus misalnya dengan tippex atau ditempel dengan kertas kemudian diketik atasnya.
5.      Kode dan Nomor Seri ternyata ditulis tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
6.      Dibuat telah melampaui 3 (tiga) bulan setelah batas waktu akhir pembuatan Faktur Pajak Standar.
7.      Terlambat atu tidak melaporkan penggunaan Kode dan Nomor Seri.
8.      Tidak atau terlambat melaporkan nama dan contoh tanda tangan pejabat yang ditunjuk untuk menandatangani Faktur Pajak Standar.

D.    Tata Cara dan Jangka Waktu Restitusi Berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-122/PJ./2006 jo. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-49/PJ./2008
Mulai 16 Desember 2008, mekanisme penyelesaian permohonan restitusi PPN  dan atau PPnBM yang diajukan oleh PKP atau diterima oleh KPP pada atau sesudah 16 Desember 2008 dilakukan berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-48/PJ./2008 tanggal 16 Desember 2008, sebagai berikut:
1.      Permohonan restitusi dapat diajukan kepada Kepala KPP pada setiap akhir Masa Pajak dengan cara mengisi kolom yang tersedia pada formulir SPT Masa PPN atau dengan surat tersendiri dengan ketentuan sebagai berikut:
a.       Satu surat permohonan untuk satu Masa Pajak
b.      Kelengkapan surat permohonan restitusi:
1)      Faktur pajak dan/atau dokumen tertentu yang diperlakukan sebagai faktur pajak kecuali bagi PKP tertentu.
2)      Kelengkapan dokumen dapat diajukan bersamaan dengan surat permohonan atau disusulkan paling lambat satu bulan sejak surat permohonan diterima oleh kepala KPP.
3)      Dalam hal disusulkan, kepala KPP dapat menerbitkan surat permintaan kelengkapan permohonan pengembalian kepada PKP yang bersangkutan dengan memperhatikan jangka waktu melengkapi kelengkapan permohonan tersebut.
4)      Apabila sampai batas waktu yang ditentukan tersebut ternyata PKP belum melengkapi surat permohonan, surat permohonan restitusi diproses sebatas kelengkapan dokumen yang sudah diterima di KPP.
Setelah melakukan pemeriksaan, Direktur Jenderal Pajak (dalam hal ini kepala KPP) wajib menerbitkan surat ketetapan pajak dalam jangka waktu 12 bulan sejak surat permohonan diterima. Dalam hal jangka waktu ini telah terlampaui ternyata tidak ada surat ketetapan pajak yang diterbitkan, berarti permohonan PKP dikabulkan, maka dalam waktu 1 bulan setelah jangka waktu ini terlampaui, Direktur Jenderal Pajak wajib menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB).
2.      Dalam hal yang mengajukan permohonan adalah PKP tertentu, maka berlaku mekanisme sebagai berikut:
a.       PKP tertentu yang mengajukan permohonan restitusi tidak diwajibkan melengkapi surat permohonannya dengan kelengkapan surat permohonan pengembalian berupa faktur pajak dan dokumen yang diperlakukan sebagai faktur pajak.
b.      Setelah melakukan penelitian atas permohonan restitusi yang diajukan oleh PKP tertentu, harus menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP), satu bulan sejak surat permohonan diterima. Apabila setelah lewat jangka waktu dimaksud, Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan SKPPKP, berarti permohonan PKP tertentu ini dikabulkan, maka dalam jangka waktu 1 bulan sejak jangka waktu terlampaui, wajib menerbitkan SKPPKP.
c.       Dalam hal permohonan restitusi diajukan oleh PKP tertentu meliputi masa pajak sebelum PKP menjadi PKP tertentu, pemeriksaan wajib dilakukan terhadap SPT Masa PPN yang menyatakan kelebihan pembayarannya dikompensasi, dan PKP tertentu ini wajib melengkapi faktur pajak yang terkait.
d.      Setelah menerbitkan SKPPKP, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan yang meliputi semua jenis pajak. Apabila dari hasil pemeriksaan ini manghasilkan SKPKB, PKP tertentu wajib membayar jumlah kekurangan pajak ditambah sanksi berupa kenaikan sebesar 100% dari pajak yang kurang dibayar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar